Membaca, Makanan Bagi Jiwa
Kebiasaan membaca akan menentukan
masa depan kita. Kalau kita simak tokoh-tokoh yang mencapai keberhasilan, dalam
bidang apapun, dimanapun dan kapanpun, kita mendapat kenyataan bahwa mereka
adalah orang-orang yang mempunyai kebiasaan membaca sejak kecil.
Mari kita
perhatikan nama-nama besar di Indonesia, presiden, menteri, tokoh masyarakat,
pengusaha, seniman, dll. Bung Karno, walaupun seorang insinyur, buku-buku
bacaan beliau amat luas bidangnya. Yaitu buku-buku tentang agama (apapun),
tentang sejarah dan tokoh-tokoh raksasa tingkat dunia, tentang ajaran ideologi
(sosialisme, marxisme, kapitalisme, islamisme), dan banyak lagi lainnya.
Bung Hatta
juga demikian, apalagi beliau adalah seorang yang belajar ilmu ekonomi. Tentu
buku-buku tentang ilmu sosial beliau baca, termasuk sejarah. Juga buku tentang
filsafat dan agama. Pak Habibie, Gus Dur, dan Pak SBY juga merupakan
orang-orang yang gila buku sejak kecil. Presiden RI yang tidak begitu gemar
membaca adalah Pak Harto dan Bu Megawati.
Umumnya
Perdana Menteri RI gemar membaca, seperti Sutan Syahrir, Mohammad Natsir,
Sukiman, Ali Sastroamijoyo, Burhanuddin Harahap. Banyak tokoh-tokoh besar
bangsa Indonesia juga pelahap buku atau pecandu buku, seperti Agus Salim, KH.
A. Wahid Hasyim, Nurcholis Madjid, Mohtar Lubis.
Para kyai
besar Nusantara dan Indonesia juga gemar membaca, paling tidak buku-buku atau
kitab-kitab tentang agama. Contoh yang sudah amat terkenal ialah Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari, Kyai Mahfudz Termas, Syekh Nawawi Al Bantani.
Seperti
makanan jasmani, membaca yang merupakan makanan bagi jiwa umat Islam adalah
al-Qur’an, baik secara spiritual maupun sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Umumnya kita membaca al-Qur’an tetapi jarang membaca terjemahnya apalagi
tafsirnya. Ternyata banyak ilmuwan non Islam mempelajari al-Qur’an sebagai
sumber pengetahuan bukan sebagai kitab suci. Setelah al-Qur’an kita mengambil
al Hadits sebagai bahan bacaan. Kita juga membaca riwayat Rasulullah sebagai
makanan jiwa kita. Juga buku atau kitab mengenai penyucian jiwa.
Sebagai lauk
atau lawuh untuk mengiringi makanan pokok bagi jiwa, kita bisa membaca buku
mengenai berbagai masalah yang mungkin tidak terkait secara langsung dengan
agama Islam. Misalnya buku mengenai perjuangan seseorang (apapun agamanya)
untuk mencapai cita-citanya.
Buku-buku
sastra juga perlu kita baca karena bisa memperhalus jiwa kita, memperluas
pemikiran kita dan juga memotivasi kita. Apalagi kalau buku sastra itu
menyangkut tokoh besar yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Buku cerita
yang baik juga merupakan bahan yang baik, sebagai semacam vitamin.
Saya dan
saudara-saudara saya termasuk Gus Dur saat masih remaja menggemari cerita silat
Tionghoa yang menurut saya walaupun tidak berlatarbelakang Islam tetapi telah
berhasil menanamkan nilai-nilai positif yang mempengaruhi kehidupan kami, yaitu
menanamkan rasa malu, tanggung jawab, keberanian, kerja keras, pantang
menyerah, kesetiakawanan, mengurangi pamrih, kejujuran, dan keksatriaan.
Bahan bacaan
yang bisa dianggap sebagai racun bagi jiwa kita harus dihindari. Contoh bacaan
seperti itu adalah cerita cabul, pornografi, kisah mistik, yang memicu
kekerasan dan tidak mendidik. Bersyukur bahwa kini banyak buku yang ditulis
generasi muda kita dengan mutu yang bagus, baik buku cerita (novel) maupun
buku-buku serius. Yang berlatar belakang Islam banyak seperti Ayat-ayat Cinta,
dll. Yang tidak berlatar belakang Islam juga banyak .
Sayang
sekali bahwa kebiasaan membaca itu belum menjadi budaya membaca yang diikuti
oleh kebanyakan warga bangsa. Dibanding Malaysia budaya membaca kita jauh
tertinggal, apalagi dibanding negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Karena
itu perlu ada upaya khusus untuk menumbuhkan minat membaca. Mereka yang
berlebih perlu membantu mereka yang kekurangan dengan menghadiahkan buku kepada
masyarakat yang tidak mampu atau lembaga pendidikan.
Sumber: Majalah Tebuireng